Di balik dentuman sirine yang meraung-raung di jalanan kota, terdapat kisah sunyi yang jarang disorot: kisah para petugas medis yang berjibaku menyelamatkan nyawa di dalam ruang sempit bernama ambulans. Kendaraan ini bukan hanya alat transportasi darurat, melainkan juga panggung bagi drama kehidupan, tempat di mana harapan dan ketakutan beradu dalam setiap detiknya.
Petugas ambulans—termasuk sopir, perawat, dan tenaga medis darurat (emergency medical technician/EMT)—sering kali bekerja dalam tekanan tinggi. Mereka dituntut untuk bertindak cepat, tepat, dan tenang di tengah situasi yang serba genting. Tak jarang mereka berhadapan dengan pasien kritis, keluarga yang panik, lalu lintas yang padat, dan kadang, keputusan hidup atau mati yang harus diambil dalam hitungan detik.
Namun, meskipun pekerjaan mereka sangat vital, suara mereka jarang terdengar. “Kami hanya muncul saat sirine menyala, lalu menghilang begitu pasien masuk ke rumah sakit,” ujar Rina, seorang perawat karoseri ambulance di Jakarta yang telah bekerja lebih dari tujuh tahun. Ia menambahkan bahwa di balik tugasnya yang tampak heroik, terdapat tekanan emosional yang luar biasa. “Ada pasien yang tak bisa diselamatkan, ada pula keluarga yang memohon-mohon dengan air mata. Semua itu melekat di benak.”
Bekerja di dalam ambulans bukan sekadar mengantar pasien. Para penyelamat ini harus menjalankan prosedur penyelamatan pertama, menjaga kestabilan pasien, hingga melakukan komunikasi intensif dengan rumah sakit tujuan. Dalam ambulans, waktu adalah segalanya. Setiap detik bisa menentukan nasib seseorang.
Selain tekanan medis, faktor lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri. Kemacetan lalu lintas, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, sering menjadi penghalang. Meski sirine meraung, tidak semua pengendara memberi jalan. “Kadang kami harus turun tangan langsung, membunyikan klakson berkali-kali, atau bahkan meminta bantuan polisi,” cerita Andi, sopir ambulans di Surabaya. Ia menyayangkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya memberikan jalan kepada ambulans.
Ironisnya, dedikasi dan kerja keras mereka belum sepenuhnya mendapat apresiasi yang layak. Gaji yang tidak sebanding dengan risiko, jam kerja yang panjang, dan kurangnya perlindungan mental menjadi permasalahan yang sering dialami. Banyak di antara mereka yang mengalami burnout atau kelelahan mental, namun tetap bertugas karena panggilan hati.
Pandemi COVID-19 mempertegas peran vital mereka. Di masa krisis tersebut, ambulans menjadi simbol harapan sekaligus ketakutan. Di satu sisi, mereka membawa harapan hidup bagi pasien; di sisi lain, mereka juga menjadi pengantar duka bagi yang tak tertolong. Banyak petugas ambulans yang harus tinggal terpisah dari keluarga demi menghindari risiko penularan. “Waktu itu, saya tidak pulang hampir tiga bulan. Anak saya hanya lihat saya lewat video call,” kenang Fajar, EMT di Bandung.
Kini, ketika pandemi mulai mereda, kisah mereka pun perlahan kembali tenggelam. Padahal, mereka tetap berjaga. Tetap menjemput panggilan di tengah malam. Tetap siap ketika sirine kembali menjerit.
Sudah waktunya masyarakat dan pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para petugas ambulans. Mulai dari peningkatan kesejahteraan, pelatihan berkala, hingga dukungan psikologis. Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang etika berkendara saat mendengar sirine juga sangat penting.
Karena di balik sirine yang menjerit, ada jiwa-jiwa yang bekerja dalam kesunyian. Mereka bukan hanya pengemudi atau petugas medis—mereka adalah penjaga harapan terakhir dalam perjalanan menuju keselamatan. Dan mereka pantas untuk didengar, dihargai, dan dikenang.