Di sudut sebuah taman kecil yang tak lagi ramai, berdirilah sebuah kursi tua dari kayu jati yang mulai dimakan usia. Kursi itu tak terlihat istimewa bagi siapa pun yang melewatinya, namun bagi beberapa orang, ia adalah saksi bisu dari waktu, rindu, dan perpisahan yang tak pernah benar-benar selesai. meja rapat tua itu terletak tepat di bawah sebuah pohon kenangan—begitu orang-orang menyebutnya—sebuah pohon flamboyan yang rindang, yang setiap musim kemarau menebarkan kelopak merah jingga seperti serpihan kenangan yang jatuh satu per satu.
Jejak Waktu yang Diam-diam Merekam Segalanya
Dulu, kursi itu selalu ramai oleh tawa. Setiap sore, sepasang muda-mudi duduk di sana, berbagi cerita tentang dunia, tentang masa depan yang belum tentu datang, dan tentang cinta yang tumbuh perlahan-lahan. Mereka tidak butuh banyak kata. Kadang hanya duduk bersebelahan, membiarkan angin sore meniupkan harapan. Kursi tua itu merekam semuanya—bahkan detak jantung yang dipercepat oleh genggaman tangan pertama.
Tahun demi tahun berlalu. Orang-orang datang dan pergi. Tapi pohon kenangan dan kursi tua itu tetap di sana, meski warna kayunya mulai pudar dan salah satu kakinya sedikit goyah. Mereka tetap berdiri teguh, seperti menolak dilupakan.
Rindu yang Mengendap di Setiap Serat Kayu
Tak sedikit orang yang kembali ke sana, entah hanya untuk duduk sejenak atau mengenang seseorang yang pernah ada. Bagi beberapa hati, tempat itu adalah ruang antara masa lalu dan sekarang—tempat rindu mengendap tanpa perlu diungkapkan. Ada yang datang dengan mata berkaca, ada pula yang datang hanya untuk menghembuskan napas panjang dan pergi tanpa kata.
Rindu, nyatanya, bukan sesuatu yang selalu harus diucapkan. Kadang, cukup dengan duduk di kursi tua itu, menatap langit di sela-sela daun pohon flamboyan, hati sudah bicara lebih banyak dari mulut. Dan di sanalah, kursi tua menjadi jembatan tak kasat mata antara dua dunia: yang sudah pergi dan yang masih tinggal.
Perpisahan yang Tak Terucap, Namun Terasa
Perpisahan memang aneh. Ia bisa terjadi tanpa pamit. Bisa datang tanpa aba-aba. Ada yang memilih pergi diam-diam, meninggalkan kenangan menggantung di ranting-ranting pohon kenangan. Tak ada kata perpisahan, tapi ada rasa yang tak lagi sama. Dan entah mengapa, kursi tua itu seolah bisa mengerti segalanya. Ia tidak bertanya, tidak memaksa. Ia hanya menerima, dan diam-diam menampung sisa-sisa cerita.
Seseorang pernah menuliskan namanya di salah satu sandaran kursi itu, di samping nama yang lain. Dua nama, dua hati, yang pernah berjanji. Namun kini, hanya satu yang sesekali datang. Ia duduk di sana, memandangi ukiran itu, dan sesekali tersenyum getir. Karena tahu, tak semua kisah perlu akhir yang indah—kadang, cukup dikenang dengan tenang.
Warisan Emosi dalam Diam
Kursi tua di bawah pohon kenangan bukan sekadar benda mati. Ia adalah simbol dari perjalanan waktu, tempat bersemayamnya rindu, dan ruang sunyi bagi perpisahan yang tak pernah sempat diucapkan. Dalam diamnya, ia berbicara lebih lantang dari suara. Dalam ketidakmampuannya bergerak, ia menyentuh lebih banyak hati daripada yang bisa dijangkau.
Dan mungkin, di dunia yang serba cepat ini, kita perlu satu tempat seperti itu—kursi tua yang mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, mengenang, merelakan, dan mencintai… dalam diam.